Jakarta, 18 Juni 2025 – Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian yang diperingati hari ini, setiap tanggal 18 Juni, menjadi momentum agar terus mewaspadai ancaman ujaran kebencian terutama di tengah arus informasi digital yang kian masif. Ujaran kebencian apalagi berbasis agama, dinilai paling mampu menyulut konflik dan keretakan dalam masyarakat global yang majemuk termasuk di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Kementerian Agama RI, Voice of Istiqlal, Nasaruddin Umar Office, dan Institut Leimena, dalam rangka merayakan Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian, Selasa (17/6/2025) malam. Webinar diikuti lebih dari 2.900 peserta dari sekitar 14 negara dan lebih dari 400 kota.
“Kita harus mewaspadai ujaran kebencian bertemakan agama, religious hate speech, karena sangat besar dampaknya, seperti alang-alang yang disiram dengan bensin,” kata Menteri Agama Nasaruddin Umar yang hadir sebagai pembicara kunci dalam webinar tersebut.
Menag Nasaruddin menegaskan ekskalasi ujaran kebencian berbasis agama sangat cepat dan berdampak luas. Dia mengingatkan pentingnya kematangan psikologis dan spiritual seseorang dalam beragama agar tidak mudah melakukan provokasi agama.
“Kalau kita mencintai negeri ini, mencintai perdamaian, mencintai dunia dan kemanusiaan, mari kita mengerem mulut kita. Mari kita mengerem jari jemari tangan kita agar tidak mudah menyebarkan ujaran kebencian atau meneruskan pesan-pesan yang bertemakan kebencian,” tandas Menag.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan ujaran kebencian telah menjadi persoalan serius yang mengancam harmoni sosial dan keberagaman dalam dunia global. Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian, yang ditetapkan oleh keputusan Majelis Umum PBB tahun 2021 dalam resolusi berjudul “Mempromosikan dialog dan toleransi antaragama dan antarbudaya dalam melawan ujaran kebencian”, menyoroti adanya kekhawatiran global dalam penyebaran ujaran kebencian, disinformasi, dan misinformasi.
Matius menjelaskan misinformasi adalah informasi palsu atau tidak akurat, terlepas dari niat dibalik penyebarannya, sedangkan disinformasi adalah informasi palsu yang sengaja disebarluaskan untuk menyesatkan. Menurutnya, disinformasi dan misinformasi adalah api pemantik, sekaligus bensin, dari ujaran kebencian, sehingga orang perlu sangat berhati-hati.
“Jangan pula dikira kalau kita masyarakat yang religius, taat beragama, maka akan sulit terjerumus ke dalam hal ini. Justru kita harus extra hati-hati, karena disinformasi dan misinformasi yang diberi embel-embel agama bisa dengan mudah membakar emosi, melenyapkan akal sehat, dan melepaskan berbagai ujaran kebencian,” kata Matius.
Matius mengatakan pendekatan literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) yang berfokus kepada penguatan kompetensi dan keterampilan untuk membangun relasi dan kolaborasi lintas agama menjadi sangat esensial untuk melawan ujaran kebencian berbasis agama. Tiga kompetensi dalam LKLB yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif akan menumbuhkan rasa saling percaya sebagai modal sosial masyarakat majemuk.
“Sejak tahun 2021, bekerja sama dengan Masjid Istiqlal, dan berbagai lembaga lain, kami di Institut Leimena mengembangkan program LKLB untuk para guru dan pendidik yang jumlah alumninya telah mencapai 10.000 orang tersebar di 38 provinsi di Indonesia,” ujar Matius.
Sementara itu, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag RI, Muhammad Adib Abdushomad, mengatakan Menag Nasaruddin menjadikan kerukunan dan cinta kemanusiaan sebagai prioritas pertama Kemenang RI melalui Asta Program Prioritas (Asta Protas). Salah satu implementasinya adalah kurikulum berbasis cinta (KBC), yang dalam PKUB secara khusus menjadi KBC Lintas Agama.
*Tanggung Jawab Keimanan*
Senior Fellow Comparative Religion di Jackson School of International Studies, University of Washington, Chris Seiple, mengatakan diskusi tentang ujaran kebencian berbasis agama harus dilihat dari sisi tanggung jawab keimanan dalam menafsirkan orang lain yang berbeda. Dalam LKLB, seseorang diajarkan kompetensi pribadi, yaitu belajar tentang keyakinan sendiri agar bisa berinteraksi dengan orang lain yang berbeda agama.
“Sebagaimana Kurikulum Cinta, pendekatan LKLB juga mempunya akronim ‘LOVE’ yaitu listen, observe, verify, dan engange. Artinya, bagaimana kita mendengar dan mengobservasi dengan hati, memverifikasi dengan otak atau akal kita, dan berinteraksi, mengulurkan tangan untuk bekerja sama,” kata Seiple.
Seiple, mengutip sebuah ungkapan, bahwa hanya yang terbaik dari iman kita yang bisa mengatasi hal terburuk dari agama kita. Banyak tradisi memupuk kebencian demi agama, namun keimanan adalah sikap rendah hati di depan Tuhan, sehingga dalam konteks tersebut, kompetensi pribadi dalam LKLB berperan mengalahkan kebencian.
Direktur Eksekutif ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), Yuyun Wahyuningrum, mengatakan ujaran kebencian bukan hanya masalah digital, namun masalah moral. Perkataan yang mendorong kebencian bukan lagi hal tersembunyi, tapi sudah membanjiri lini masa kita dengan menargetkan orang-orang karena siapa mereka, apa yang mereka yakini, atau siapa yang mereka cintai.
Menurut Yuyun, kebencian di dunia maya tidak bersifat virtual. Kebencian tidak hanya terlihat di layar. Kebencian berubah menjadi ancaman, serangan, pembungkaman, dan terkadang, berubah menjadi kekerasan. Dia mencontohkan bagaimana unggahan di media sosial turut memicu kekerasan kepada Rohingya di Myanmar. Di negara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, juga memuncak disinformasi selama pemilu yang menjadikan kaum minoritas dan politisi perempuan sebagai kambing hitam.
“Apa yang kita hadapi bukan hanya krisis dari konten yang merusak. Tapi krisis dari tata kelola, etika, dan kemauan politik,” tandas Yuyun.
Mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Kebebasan Beragama Internasional, Rashad Hussein, mengatakan pendekatan kriminalisasi terhadap ujaran kebencian justru sering menjadi boomerang karena menarik perhatian lebih besar kepada pelakunya. AS mendorong pendekatan yang menyasar akar masalah melalui peningkatan pendidikan dan kesadaran media, serta menuntut pertanggungjawaban hukum atas kekerasan fisik terhadap sasaran ujaran kebencian.
“Ini sejalan dengan strategi nasional AS dalam mengatasi Islamofobia, yang berfokus pada edukasi, penguatan hukum anti-diskriminasi, dan pemberdayaan suara kelompok minoritas,” kata Hussein.
Kepala Satgas Dialog Kebudayaan dan Agama Kementerian Luar Negeri Republik Austria, Alexander Rieger, menyampaikan sejumlah strategi yang dijalankan negaranya dalam melawan ujaran kebencian. Salah satunya, pada 2012, mendirikan platform untuk kolaborasi, yang mempertemukan 16 komunitas keagamaan. Kolaborasi itu tidak simbolik belaka, tapi menyasar persoalan-persoalan genting di Austria termasuk antisemitisme, Islamofobia, xenophobia, dan kebencian.